Skip to main content
x
opini IMM

Milad IMM di Tahun Politik?

Oleh : Hamzah Fansuri 

Tanggal 14 Maret di setiap tahunnya merupakan peristiwa reflektif bagi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Selain mengenang peristiwa-peristiwa historis kelahiran IMM sebagai organisasi kemahasiswaan yang dikenal dengan milad IMM tersebut, momen tersebut kerap kali menjadi wadah bertukar pikiran antar sesama kader dan alumni perihal tantangan-tantangan baru yang akan dihadapi IMM sebagai organisasi di ke depan hari. 

Maka setiap daerah, lewat himbauan dari Dewan Pimpinan Pusat atau atas kesadaran daerah masing-masing akan melangsungkan berbagai macam perhelatan yang sebagiannya diupayakan untuk mensyiarkan IMM sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah, di sisi lain menegaskan IMM sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan sekaligus kepemudaan yang juga memiliki peran krusial di level propinsi, kota maupun kabupaten. 

Tahun ini, Dewan Pimpinan Pusat IMM akan menyelenggarakan beragam agenda milad yang ke- 54 tersebut berpusat di Yogyakarta dengan agenda utamanya mempertemukan alumni-alumni untuk berdialog mengenai tema-tema kebangsaan. Di antara alumni yang juga menjadi tokoh nasional akan hadir dalam rangkaian milad IMM tersebut adalah Prof. Amien Rais (Ketua Dewan Pembina PAN), Prof. Ahmad Syafii Maarif (Pendiri Maarif Institute), serta Prof. Din Syamsuddin (Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antar Umat Beragama). Selain itu, generasi-generasi baru juga akan mengisi diskusi bertajuk internasionalisasi IMM dengan menghadirkan alumni yang banyak berkiprah di luar negeri baik ketika melanjutkan studi doktoral maupun berkarya lintas negara. Diantara yang diundang tersebut adalah Dr. Ahmad Najib Burhani (Visiting Researcher, National University of Singapore), Ahmad Norma Permata, Ph.D (LPCR PP Muhammadiyah), dan Pradana Boy ZTF (Universitas Muhammadiyah Malang).

Namun DPP IMM seakan tidak ingin melewatkan momen tahun politik 2018 dan 2019, maka mereka pun menginisiasi seminar bertajuk politik dan kaum muda dengan tentunya diisi oleh kader-kader Muhammadiyah yang bertengger pada posisi-posisi strategis di partai politik tingkat nasional seperti Raja Juli Antoni (Sekjend Partai Solidaritas Indonesia), Ahmad Rofiq (DPP Perindo), dan Ahmad Hanafi Rais (DPP PAN). Menghadirkan alumni yang berkiprah di partai politik artinya juga menegaskan sepak terjang para alumni di berbagai sektor kebangsaan, selain tentunya secara organisatoris, IMM hendak menunjukkan kepada publik bahwa tahun pilkada serentak dan rangkaian pemilu 2019 menjadi wadah bersama yang patut disiasati oleh gerakan kemahasiswaan untuk mengambil peran-peran strategis.

Milad IMM di Bengkulu

Sementara di propinsi Bengkulu, Dewan Pimpinan Daerah IMM Bengkulu juga telah merancang agenda milad yang berlokasi di kampus Universitas Muhamamdiyah Bengkulu. Sebagai alumni, saya teringat pada momen yang sama di tahun 2007 lalu ketika bersama segelintir kader IMM berupaya untuk “menghidupkan” kembali organisasi ini. Upaya ini bukan tanpa alasan, karena di tahun-tahun sebelumnya IMM Bengkulu sempat vakum dari berbagai kegiatan. Karena itu, salah satu agenda yang dapat menghimpun kembali kader-kader dalam struktur keorganisasian yang rapih ialah melalui perayaan milad. Tahun 2008 akan menjadi salah satu tonggak sejarah kebangkitan kembali IMM Bengkulu ketika sukses menyelenggarakan rangkaian milad seperti seminar nasional, temu alumni dan sebagainya. 

Uniknya milad tahun 2008 lalu juga mengambil tema kepemimpinan kaum muda menyongsong pemilu 2009. Sebuah situasi yang kurang lebih persis dengan tahun ini. Barangkali yang membedakan dengan tahun ini adalah suhu politik di kota Bengkulu karena bertepatan dengan pemilihan walikota. 

Milad IMM Bengkulu sebagaimana tahun 2008 lalu akan menyedot perhatian kebanyakan kader pada suksesi kepemimpinan dan kontestasi politik. Tendensi politis akhirnya tidak dapat dielakkan. Dalam konteks ini, jati diri IMM yang menjadi pegangan ialah peran IMM selaku kader ummat dan kader bangsa. Artinya, IMM sebagai organisasi mahasiswa memberi ruang pengkaderan politik melalui keberadaan bidang Hikmah di setiap level kepemimpinan. Bidang Hikmah inilah yang terus menerus merancang materi dan agenda rutin bagi segenap kader perihal politik kebangsaan, politik adiluhung, dan politik kerakyatan agar kelak di masyarakat mampu menawarkan alternatif sikap politik yang berani melawan kultur koruptif dan menentang segala bentuk intoleransi.

Karena kerap berdekatan dengan tahun politik, milad IMM di Bengkulu perlu merefleksikan hal-hal di atas agar tetap berpijak pada apa yang telah dicanangkan oleh para pendirinya. Jika di tahun 2008 lalu, gagasan profetisme menjadi tema utama, hal ini berarti memposisikan peristiwa milad sebagai wadah bersama meneguhkan nalar profetik (spirit kenabian) pada diri setiap kader. Profetisme dipilih karena untuk menghadirkan pemahaman politik yang hakiki maka perlu berpijak pada tiga elemen utama yakni humanisasi (ta’muru bil ma’ruf), liberasi (tanhawna ‘anil munkar), dan transendensi (tu’minu billah). Dengan peneguhan semacam ini maka proses kaderisasi IMM akan mengarah kepada gerakan kemahasiswaan Islam yang menempatkan diri pada garda gerakan moral-intelektual berbasis kerakyatan. 

Tantangan Kekinian

Menghibahkan diri dalam sebuah organisasi kemahasiswaan Islam pada era yang oleh Reinald Kasali disebut sebagai era disruptif atau oleh sosiolog Manual Castells sebagai era informasionalisme artinya berhadapan dengan banyak tantangan perubahan zaman. Jika sebelumnya mengenal varian isu yang dapat dijadikan medium perjuangan seperti berbasiskan non-kelas menyangkut buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, serta lingkungan. Di sisi lain melontarkan kritik terhadap globalisasi (neo-liberalisme), dan yang juga penting adalah mengadvokasi hak ekonomi-sosial-budaya. Maka di abad internet saat ini, ketika teknologi komunikasi dan inovasi-inovasi mutakhir di bidang saintifik menjadi pemeran utama dalam menentukan arah peradaban, ia akan sekaligus mendorong tinjauan baru bagi berbagai masalah baru.

Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan mengingatkan bagi siapa yang mengusai artificial inteligence maka akan menguasai dunia. Artifisial intelijen sendiri merupakan wujud terbaru dari revolusi industri keempat yang melampaui kecanggihan internet. Hal ini berarti, terdapat banyak tantangan yang jauh lebih kompleks, yang menuntut kolaborasi berbagai elemen, serta berpikir futuristik. Memahami setiap tantangan tersebut dengan paradigma berpikir yang sempit hanya akan menggerus setiap organisasi, tak terkecuali organisasi kemahasiswaan. Maka organisasi kemahasiswaan seperti IMM sudah sepatutnya menjadi wadah yang ideal karena basis utamanya ada di universitas. Sebagaimana adagium klasik, universitas dipahami sebagai universitas magistrorum et scholarium, yang berarti ruang bebas untuk para guru dan akademisi bertukar pikiran dan menyumbang kemaslahatan. Karena itu pula barangkali, IMM pernah menegaskan kerangka pikir kadernya ialah ilmu adalah amaliah, dan amal adalah ilmiah sebagai salah satu jati diri organisasi.
Meskipun milad IMM tahun ini bertajuk milad di tahun politik, akan tetapi pertanyaannya adalah sejauh mana IMM menyadari perubahan zaman akan memberi pengaruh signifikan terhadap orientasi dan cara pandang kader terhadap beragam masalah-masalah kemanusiaan dan tantangan global lainnya?  Pertanyaan ini sekaligus bermaksud untuk menegaskan bahwa respon terhadap kontestasi politik di skala lokal maupun nasional hingga tahun yang akan datang perlu untuk dirumuskan tidak semata pada ranah politik praktis dan pragmatis, melainkan bagaimana kader IMM akan hadir di tengah-tengah masyarakat dan menawarkan kreatifitas serta inovasi dalam penanganan masalah-masalah sosial di abad internet. Ragam aksi IMM pada akhirnya menuntut studi mendalam terlebih dahulu dengan berpijak pada pendekatan mulitidisipliner, interdisipliner, dan transdisipliner. Ketiga pendekatan ini telah terbukti mampu menjawab persoalan dari berbagai disiplin yang terintegrasi. 

Akhirul kalam, adalah sebuah hikmah bagi IMM ketika miladnya bertepatan dengan peristiwa politik baik di daerah maupun skala nasional. Sudah semestinya pula hikmah tersebut menjadi pelajaran berarti bagi pemahaman politik yang terintergrasi dengan persoalan-persoalan lainnya di masyarakat. Masyarakat yang secara perlahan namun dapat dipastikan menuju pada masyarakat digital (digital society).

(Penulis adalah alumni IMM, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, dan dosen Universitas Krisnadwipayana, Jakarta)

Facebook comments